Surat Tanpa Nama 1

Chapter 1
Bersandar Padaku
Hong Kong, 1 Januari 2015


Ku sapa engkau dari ribuan mil jarak; "Assalamualaikum engkau pemilik hati." 
Tanyakan kabar pada angin samudera yang menyejukan sesaat. Ia mengatakan kau akan selalu bahagia dan rindu itu selalu bersemayam dalam jiwamu.
Aku ingin memberi tahumu pada “Surat tanpa Nama,” maukah kau membacanya sekiranya ada minat dipikirmu?

Gundah ini bila nanti tak kunjung ku temukan hatimu pada petualanganku menapaki jejak kehidupan. Setiap jengkal duniamu seiring berjalannya waktu dan kebersamaan yang disandang. 
Ada harap menyisihkan keraguan, janganlah kau sampaikan lagi pada dewi malam, kiranya kau akan melepas gengaman tangan lalu enyah menghindar. 

Dalam diam dalam hening, ku sematkan rasa dalam doa semoga ia akan tetap terjaga, separuh hatiku akankah tetap utuh disana? Pertanyaan itu menganggu tidurku. 
Sayang. Kau dimana?
Ribuan hari aku menantimu dengan setia, percaya bahwa lukisan takdir ditanganmu akan membawamu kepadaku. Entahlah, pada detik ini atau sampai nanti,  aku ingin terus menulis surat rindu untuk dikau pemilik hatiku, ku titipkan puisi rindu pada sekelompok burung laut yang siap berkelana menyusuri luasnya samudera. 

Sayang,? Entah aku sebut namamu disurat ini dengan sebutan “sayang.” 
Disini akan aku ceritakan padamu, pada dia, mereka dan pada penduduk bumi. Akan aku katakan kepada alam; aku yang terkagum akan ciptaan Allah yang paling sempurna, iya ciptaan-Nya paling sempurna  bisa ku lihat  pada sosok seperti engkau, pribadi yang mengagumkan membuat kedua bola mataku kembali mengenal warna dari cinta. 

Di kejauhan ribuan mil jarak aku milihatmu, aku bisa melihat senyum dan bayangmu melayari lautan mimpiku. Sayang, bawalah aku kemanapun kau ingin. Genggam erat tangan ini akan ku temani engkau dalam petualangan hidupmu. Ada garis bawah “jika kau mau,”

Kini aku berdiri disini didermaga yang bisu, menatap hamparan lautan berkabut tak bertepi. Udara dingin merasuk kedalam tulang sendi. Sayang, aku tak menghiraukan dingin dunia pabila cintamu mampu menghangatkan. Katakan kepadaku aku tak perduli andaikan katamu itu bohong, aku hanya ingin mendengarnya, sekali saja katakan. Biar aku temukan penawar kerinduan. 

Gundangku kini, aku lepaskan didermaga sunyi. Sepiku telah ditemani secangkir kopi. Ku bawakan secangkir kopi ini teruntukmu yang dirindukan hati, sesungguhnya aku menunggu kapalmu sandar didermaga ini, lalu kau dan aku akan bertukar rindu sembari menikmati sepasang cangkir kopi dengan nuansa musim dingin awal januari. Sayang kau akan sandar disini. Aku tahu. 


Tak ada yang menyenangkan dimusim dingin, apalah artinya bahagia pabila tanpa engkau membersamai. Kesunyian hanya mengundang keraguan. Tumpukan buku-buku, lembar tugas dan sisa-sisa harapan tentang petualangan menaklukan samudera mimpi. Aku merasakan hadirmu, ini sebuah kegilaan yang nyata, dan mungkin orang lain akan menggapku tidak waras menulis surat ini. Banyak kiranya yang ingin ku tulis, berikan tempat paling luas untuk mereka beradu kata, mengomentari kekurangan orang lain tanpa mengomentari kekurangan dirinya terlebih dulu. Biar saja kebisingan diluar sana menjadikan dunia seakan penat. 

Dikesunyian, kau dan aku dapat merentangluaskan unsur pemahaman dan cara pandang yang berbeda, menjadikan kita kuat takkala kita tersungkur jatuh. Aku bisa rasa kau akan sandar didermaga ini, dimana aku menantimu sepanjang ribuan hari, kau akan menemuiku wanitamu yang paling tabah diantara penduduk bumi lainnya. 
Sebelum ku lanjutkan menulis surat tanpa nama yang ditujukan kepada engkau pemilik hati. Sejenak ku teguk secangkir capucino. Ku letakkan kembali cangkir itu diatas meja bundar. Pandanganku masih terlempar kesana, aku melihat hamparan laut berkabut itu tak nampak lagi, langit mulai cerah namun aku masih merasa duka-cita dalam gundah. Ku memejamkan kedua bola mata, ini lebih menenangkan. Angin kembali bermain-main sesukannya mengombang-ambingkan rasa hingga tak ada satupun makhluk-Nya memahami apakah arti dari rasa yang singgah dalam jiwa. Berkatalah dan jelaskan kepadaku. Sayang kau harus mengatakannya. 

“Dia juga rindu,!” 
Terdengar samar-samar suara itu. Aku membuka mata dan mencari-cari siapakah yang baru saja bicara. 
Entah ini mimpi atau hasulinasi, mungkin saja suatu fatamorgana bayangmu, atau entah aku sedang bermimpi yang pasti aku senang dengan hadirmu. 
“Kamu disini, ini kamu?” Tanyaku dengan detak gemuruh jantung. Seakan hadirmu kini menyulap musim gugur menjadi musim semi. 
“Kenapa,? Apakah kau tak mau berbagi secangkir capucino itu denganku,?” Engkau bertanya seraya tersenyum. Dan kau tahu senyummu itu bagaikan bius yang mematikan. Selanjutnya mungkin aku akan tertidur seribu tahun. 
 “Kau tahu sahabatku, disetiap pagi kala ku sendiri, menuang bubuk capucino kedalam cangkir lalu ku tuangkan air mendidih kedalamnya. Aku mengaduknya pelan. Ada harapan menyenangkan dalam pulau mimpiku, aku ingin membuatkan secangkir capucino untukmu setiap pagi ketika aku terbangun dari mimpi usai menatap  fajar.” 
“Aku sangat senang bila nanti yang Maha cinta menyatukan hati kita. Sebelum itu maukah kau bersabar menunggu, bersediakah kau menyimpan separuh hatimu sampai ia bertemu dengan separuh hatinya,” katamu dengan expresi wajah penuh keyakinan. Kedua bola mata itu menatap ku tajam, aku tak merasa saat ini aku berada dimusim dingin, karena yang ku rasa begitu hangat. Jangan pergi begitu cepat. Sayang, aku masih rindu. 

Selanjutnya ada suara lain yang memecah keheningan. 
“Jingga, jam berapa ini,? Kamu sudah ditunggu Pak Dosen. Malah molor disini. Kamu lupa kalo tugasmu belum kamu kumpulkan,?” Kata itu begitu lantang. Aku tersentak kaget sampai kertas surat ini jatuh ke tanah dan berhamburan. Ah kenapa harus menganggu moment menyenangkan tadi. Oh kau Afi, selalu rempong sendiri. Berisik. Selanjutnya aku menguap dan mendrama: Aku akan mengatakan sedang sakit kepala dan mules.
“Iya Fi, tadi aku lagi nggak enak badan terus tiduran disini. Lagian ini terlalu pagi untuk masuk ke kelas apalagi berjumpa dengan Mr. Botak,! Oh come on."
“Dasar kau,! Pasti lagi berkhayal lagi kan, berkhayal tentang pangeran lautmu itu.”
“Hahha sudahlah kawan, malas berdebat, hayu mari kita cus menemui Mr. Botak.”

Sayang, maaf ya. Tadi gegara kedatangan teman rempongku itu jadi buyar kan obrolan manis kita. Sudah dulu ya, aku lanjut study hard. Lain waktu aku akan sambung lagi nulis surat untuk engkau separuh hatiku.

Salam Rindu 
Nicma Faneri

























































Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Ke 6

Doyan Jual Mahal! Cewek Leo adalah Zodiak Yang Sulit Ditaklukan.

Cita dan Dendam